KEMAMPUAN METAKOGNISI
1. Pengertian Metakognisi
Istilah
metakognisi yang dalam bahasa Inggris dinyatakan dengan metacognition berasal dari dua kata yang dirangkai yaitu meta dan kognisi (cognition). Istilah meta berasal ari bahasa
Yunani μετά yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan denganafter, beyond, with, adjacent), adalah suatu prefik yang dugunakan dalam
bahasa Inggris untuk menjukkan pada suatu abstraksi dari suatu konsep. (Wikipedia, Free Encyclopedia, 2008). Sedangkancognition, menurut Ensklopedia tersebut berasal dari bahasa Latin
yaitu cognoscere, yang berarti mengetahui (to know) dan mengenal (to recognize). Kognisi, disebut juga gejala-gejala pengenalan, merupakan “the act or process
of knowing including both awareness and judgement” (Webster’sSeventh New Collegiate Dictionary, 1972 :
161). Sementara itu Huitt (2005) menyatakan “cognition refers to the
process of coming to know and understand; the process of encoding, storing,
processing, retrieving information.” .
Metakognisi (metacognition) merupakan suatu istilah yang diperkenalkan oleh
Flavell pada tahun 1976. Menurut Flavell,
sebagaimana dikutip oleh Livingston (1997), metakognisi terdiri dari
pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge) dan pengalaman atau regulasi
metakognitif (metacognitive experiences or regulation).Pengetahuan metakognitif menunjuk pada diperolehnya pengetahuan tentang
proses-proses kognitif, pengetahuan yang dapat dipakai untuk mengontrol proses
kognitif. Sedangkan pengalaman metakognitif adalah proses-proses yang dapat diterapkan
untuk mengontrol aktivitas-aktivitas kognitif dan mencapai tujuan-tujuan
kognitif.
Sedangkan
Livingstone (1997) mendefinisikan metakognisi sebagai thinking about thinking atau berpikir tentang berpikir. Metakognisi, menurut
tokoh tersebut adalah kemampuan berpikir di mana yang menjadi objek berpikirnya
adalah proses berpikir yang terjadi pada diri sendiri. Ada
pula beberapa ahli yang mengartikan metakognisi sebagai thinking about
thinking,, learning to think, learning to study, learning how to learn, learnig
to learn, learning about learning (NSIN Research Matters No. 13, 2001).
Sementara itu Margaret W. Matlin (1998: 256) dalam bukunya yang diberi
judul Cognition, menyatakan : “Metacognition is our knowledge, awareness, and control of our cognitive
process” . Metakognisi,
menurut Matlin, adalah pengeta-huan, kesadaran, dan kontrol terhadap proses
kognitif yang terjadi pada diri sendiri.
Wellman (1985) sebagaimana pendapatnya dikutip oleh Usman Mulbar
(2008) menyatakan bahwa: Metacognition is a form of cognition, a
second or higher order thinking process which involves active control over
cognitive processes. It can be simply defined as thinking about thinking or as
a “person’s cognition about cognition”Metakognisi, menurut Wellman, sebagai suatu bentuk kognisi, atau proses berpikir dua
tingkat atau lebih yang melibatkan pengendalian terhadap aktivitaskognitif. Karena itu, metakognisi dapat dikatakan sebagai berpikir seseorang tentang berpikirnya sendiriatau kognisi seseorang tentang kognisinya sendiri.
William Peirce mendefinisikan metakognisi secara umum dan secara khusus.
Menurut Peirce (2003), secara umum metakognisi adalah berpikir tentang
berpikir. Sedangkan secara khusus, dia mengutip definisi metakognisi yang
dibuat oleh Taylor, yaitu “an appreciation of what one already knows, together with a correct
apprehension of the learning task and what knowledge and skills it requires,
combined with the ability to make correct inferences about how to apply one’s
strategic knowledge to a particular situation, and to do so efficiently and
reliably.” (Peirce, 2003).
Tokoh berikut yang
juga mendefinisikan metakognisi antara lain Hamzah B. Uno. Menurut Uno (2007:
134) metakognisi merupakan keterampilan seseorang dalam mengatur dan mengontrol
proses berpikirnya.
Taccasu Project
(2008) mendiskripsikan pengertian metakognisi sebagai berikut ini.
1) Metacognition is the part of planning, monitoring and
evaluating the learning process.
2) Metacognition is is knowledge about one’s own cognitive system; thinking
about one’s own thinking; essential skill for learning to learning.
3) Metacognition includes thoughts about what are we know or don’t
know and regulating how we go about learning.
4) Metacognition involves both the conscious awareness and the conscious
control of one’s learning.
5) Metacognition is learning how to learn involves possessing or
acquiring the knowledge and skill to learn effectively in whatever learning
situation learners encounters.
Metakognisi,
sebagaimana dideskripsikan pengertiannya oleh Taccasu Project pada dasarnya
adalah kemampuan seseorang dalam belajar, yang mencakup bagaimana sebaiknya
belajar dilakukan, apa yang sudah dan belum diketahui, yang terdiri dari tiga
tahapan yaitu perencaan mengenai apa yang harus dipelajari, bagaimana, kapan
mempelajari, pemantauan terhadap proses belajar yang sedang dia lakukan, serta
evaluasi terhadap apa yang telah direncanakan, dilakukan, serta hasil dari
proses tersebut.
Berdasarkan
beberapa definisi yang telah dikemukakan pada uraian di atas dapat
diidentifikasi pokok-pokok pengertian tentang metakognisi sebagai berikut.
1) Metakognisi merupakan kemampuan jiwa yang termasuk
dalam kelompok kognisi.
2) Metakognisi merupakan kemampuan untuk menyadari, mengetahui, proses kognisi yang terjadi pada diri
sendiri.
3) Metakognisi merupakan kemampuan untuk mengarahkan
proses kognisi yang terjadi pada diri sendiri.
4) Metakognisi merupakan kemampuan belajar bagaimana
mestinya belajar dilakukan yang meliputi proses perencanaan, pemantauan, dan
evaluasi.
5) Metakognisi merupakan aktivitas berpikir tingkat
tinggi. Dikatakan demikian karena aktivitas ini mampu mengontrol proses
berpikir yang sedang berlangsung pada diri sendiri.
2. Komponen-komponen Metakognisi
Para ahli yang
banyak mencurahkan perhatiannya pada metakognisi, seperti John Flavel
(Livington, 1997), Baker dan Brown, 1984, dan Gagne 1993 (Nur, 2005),
menyatakan bahwa metakognisi memiliki dua komponen, yaitu (a) pengetahuan tentang kognisi, dan (b) mekanisme
pengendalian diri dan monitoring kognitif. Sedang Flavell (Livingston, 1997)
mengemukakan bahwa metakognisi meliputi dua komponen, yaitu 1) pengetahuan metakognisi (metacognitive knowledge), dan 1) pengalaman atau regulasi metakognisi (metacognitive experiences or regulation). Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh. Huitt
(1997) bahwa terdapat dua komponen yang termasuk dalam metakognisi, yaitu (a)
apa yang kita ketahui atau tidak ketahui, dan (b) regulasi bagaimana kita
belajar (Mulbar, 2008).
Kedua komponen
metakognisi, yaitu pengetahuan metakognitif dan regulasi metakognitif,
masing-masing memiliki sub komponen-sub komponen sebagai-mana disebutkan
berikut ini (OLRC News. 2004)
1) Pengetahuan tentang kognisi (knowledge about cognition)
Pengetahuan metakognitif terdiri dari
sub kemampuan-sub kemampuan sebagai berikut :
a) declarative knowledge
b) procedural knowledge
c) conditional knowledge
2) Regulasi tentang kognisi (regulation about cognition)
Regulasi metakognitif terdiri dari sub
kemampuan-sub kemampuan sebagai berikut:
a) planning,
b) informationmanagementstrategies,
c) comprehension monitoring,
d) debugging strategies, dan
e) evaluation.
Pengetahuan tentang kognisi adalah pengetahuan tentang
hal-hal yang berhubungan dengan kognisinya, yang mencakup tiga sub komponen. Komponen
pertama, declarative knowledge, yaitu pengetahuan tentang diri sendiri sebagai pembelajar serta strategi,
keterampilan, dan sumber-sumber belajar yang dibutuhkannya untuk keperluan
belajar. Komponen kedua, procedural knowledge, yaitu pengetahuan tentang bagaimana
menggunakan apa saja yang telah diketahui dalam
declarative knowledge tersebut dalam aktivitas
belajarnya. Komponen ketiga, conditional knowledge, adalah pengetahuan tentang bilamana
menggunakan suatu prosedur, keterampilan, atau strategi dan bilamana hal-hal
tersebut tidak digunakan, mengapa suatu prosedur berlangsung dan dalam kondisi
yang bagaimana berlangsungnya, dan mengapa suatu prosedur lebih baik dari pada
prosedur-prosedur yang lain.
Regulasi kognisi terdari dari sub komponen-sub komponen
sebagai berikut. Pertama, planning, adalah kemampuan merencanakan aktivitas
belajarnya. Kedua, information management strategies, adalah kemampuan strategi mengelola informasi berkenaan dengan proses
belajar yang dilakukan. Ketiga, comprehension monitoring, merupakan kemampuan dalam memonitor
proses belajarnya dan hal-hal yang berhubungan dengan proses tersebut. Keempat, debugging strategies, adalah kemampuan strategi-strategi debugging yaitu strategi yang digunakan untuk membetulkan
tindakan-tindakan yang salah dalam belajar. Kelima, evaluation,adalah kemampuan mengevaluasi efektivits strategi
belajarnya, apakah ia akan mengubah strateginya, menyerah pada keadaan, atau
mengakhiri kegiatan tersebut.
3. Peranan Metakognisi terhadap Keberhasilan Belajar
Sebagaimana dikemukakan pada uraian sebelumnya bahwa
metakognisi pada dasarnya adalah kemampuan belajar bagaimana seharusnya belajar
dilakukan yang didalamnya dipertimbangkan dan dilakukan aktivitas-aktivitas
sebagai berikut (Taccasu Project, 2008).
1) Mengembangkan suatu rencana kegiatan belajar.
2) Mengidentifikasi kelebihan dan kekurangannya berkenaan
dengan kegiatan belajar.
3) Menyusun suatu program belajar untuk konsep,
keterampilan, dan ide-ide yang baru.
4) Mengidentifkasi dan menggunakan pengalamannya
sehari-hari sebagai sumber belajar.
5) Memanfaatkan teknologi modern sebagai sumber belajar.
6) Memimpin dan berperan serta dalam diskusi dan
pemecahan masalah kelompok.
7) Belajar dari dan mengambil manfaat pengalaman
orang-orang tertentu yang telah berhasil dalam bidang tertentu.
8) Belajar dari dan mengambil manfaatkan pengalaman orang-orang tertentu yang telah berhasil dalam bidang
tertentu.
9) Memahami faktor-faktor pendukung keberhasilan
belajarnya.
Berdasarkan apa yang dipaparkan di atas dapat dinyatakan
bahwa keberhasilan seseorang dalam belajar dipengaruhi oleh kemampuan
metakognisinya. Jika setiap kegiatan belajar dilakukan dengan mengacu pada
indikator dari learning how to learn sebagaimana disebutkan di atas maka hasil optimal
niscaya akan mudah dicapai.
4. Pengembangan Metakognisi Peserta Didik dalam
Pembelajaran
Mengingat pentingnya peranan metakognisi dalam
keberhasilan belajar, maka upaya untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik
dapat dilakukan dengan meningkatkan metakognisi mereka. Mengembangkan
metakognisi pembelajar berarti membangun fondasi untuk belajar secara aktif.
Guru atau dosen sebagai sebagai perancang kegiatan belajar dan pembelajaran,
mempunyai tanggung jawab dan banyak kesempatan untuk mengembangkan metakognisi
pembelajar. Strategi yang dapat dilakukan guru atau dosen dalam mengembangkan
metakognisi peserta didik melalalui kegiatan belajar dan pembelajaran adalah sebagai berikut (Taccasu Project, 2008).
1) Membantu peserta didik dalam mengembangkan strategi
belajar dengan:
a) Mendorong pembelajar untuk memonitor proses belajar
dan berpikirnya.
b) Membimbing pembelajar dalam mengembangkan
strategi-strategi belajar yang efektif.
c) Meminta pembelajar untuk membuat prediksi tentang
informasi yang akan muncul atau disajikan berikutnya berdasarkan apa yang
mereka telah baca atau pelejari.
d) Membimbing pembelajar untuk mengembangkan kebiasaan
bertanya.
e) Menunjukkan kepada pembelajar bagaimana teknik
mentransfer pengetahuan, sikap-sikap, nilai-nilai, keterampilan-keterampilan
dari suatu situasi ke situasi yang lain.
2) Membimbing pembelajar dalam mengembangkan kebiasaan
peserta didik yang baik melalui :
a) Pengembangan kebiasaan mengelola diri sendiri
Pengembangan kebiasaan mengelola diri sendiri dapat
dilakukan dengan : (1) mengidentifikasi gaya belajar yang paling cocok untuk
diri sendiri (visual, auditif, kinestetik, deduktif, atau induktif);
(2)memonitor dan meningkatkan kemampuan belajar (membaca, menulis,
mendengarkan, mengelola waktu, dan memecahkan masalah); (3) memanfaatkan
lingkungan belajar secara variatif (di kelas dengan ceramah, diskusi, penugasa,
praktik di laboratorium, belajar kelompok, dst).
b) Mengembangkan kebiasaan untuk berpikir positif
Kebiasaan berpikir positif dikembangkan dengan : (1) meningkatkan rasa
percaya diri (self-confidence) dan rasa harga diri (self-esteem) dan (2) mengidentifikasi tujuan belajar dan
menikmati aktivitas belajar.
c) Mengembangkan kebiasaan untuk berpikir secara
hirarkhis
Kebiasaan untuk berpikir secara hirarkhis dikembangkan dengan : (1) membuat
keputusan dan memecahkan masalah dan (2) memadukan dan menciptakan
hubungan-hubungan konsep-konsep yang baru.
d) Mengembangkan kebiasaan untuk bertanya
Kebiasaan bertanya dikembangkan dengan : (1) mengidentifikasi ide-ide atau
konsep-konsep utama dan bukti-bukti pendukung; (2) membangkitkan minat dan
motivasi; dan (3) memusatkan perhatian dan daya ingat.
Pengembangan metakognisi pembelajar dapat pula
dilakukan dengan aktivitas-aktivitas yang sederhana kemudian menuju ke yang
lebih rumit.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Neil J.
(2002) “The Role Of Metacognition in Second Language Teaching and Learning”. Digest April 2002. Tersedia pada:http://www.cal.org/ericcll /digest. Diakses pada 11
Februari 2006.
Blakey, Elaine dan
Spence, Sheila. (2008) “Developing Metacognition” Tersedia pada : http://www.education.com/parter/articles. Diakses pada 13 September 2008.
Livingstone,
Jennifer A. (1997) “Metacognition: An Overview” Tersedia pada: http: //http://www.gse.buffalo.edu/fas/shuell/CEP564/Metacog.html.)
Matlin, Margaret
W. (1998) Cognition. Philadelphia: Harcourt Brace College Publisher.
Mulbar, Usman.
(2008) “Metakognisi Siswa Dalam Menyelesaikan Masalah Matematika”.Tersedia
pada: http//www.usmanmulbar.files. wordpress. com. Diakses pada 8 Mei 2008.
Nur, Mohamad,
Prima Retno Wikandri, dan Bambang Sugiarto. (1999) Teori Belajar. Surabaya: University Press Universitas Negeri
Surabaya.
OLRC News. (2004)
“Metacognition” Tersedia pada: http://www.literacy. kent.edu/ ohioeff/resource.doc. Diakses pada 27 Juni 2008.
Papaleontiou-Louca, Eleonora. (2008) Metacognition and Theory of
Mind.Newcaltles: Cambridge Scholars
Publishing.
Peirce, William. (2003) “Metacognition: Study Strategies, Monitoring, and
Motivation”. Tersedia pada: http://www.academic.pgcc.edu
/wpeirce/MCCCTR /index.html. Diakses pada 21 Agustus 2008.
Schraw, Gregory dan Brooks, David W. (2008) “Helping Students Self-Regulate
in Chemistry Courses: Improving the Will and the Skill” Tersedia pada:http://www.dwb.unl.edu/dwb/default.html. Diakses pada 26 Juli 2008.
Taccasu Project. (2008) “Metacognition” Tersedia pada:http://www.hku.hk/cepc/taccasu/ref/metacognition.html. Diakses pada 10 September 2008.
Uno, Hamzah B. (2007) Model Pembelajaran:
Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta:
PT Bumi Aksara.