MATA KULIAH BELAJAR MOTORIK
“TEORI BELAJAR”
Oleh :
TIKA FARDINA
K4610087
PENJASKESREK
FAKULTAS KEGURUAN
DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS
MARET
SURAKARTA
2012
A.
PENDAHULUAN
Belajar sebagai suatu kegiatan yang dilakukan manusia
telah menjadi objek studi para pakar sejak lama. Teori-teori belajar yang telah
dikemukakan kemudian dikembangkan. Pemikiran dan pemahaman hakekat belajar
terus berkembang, sejalan dengan upaya penelaahan yang terus berlangsung oleh
para pakar. Contohnya Thorpe (1954) mengkonsepsikan belajar sebagai bentuk perubahan
nilai, kecakapan, sikap dan perilaku yang terjadi dengan usaha yang
disengaja melalui rangsangan atau stimuli. Sedangkan perubahan yang terjadi
pada diri peserta didik adalah dalam bentuk tanggapan atau respon terhadap
rangsangan tersebut. Gagne (1970) dan Travers(1972) mendefinisikan belajar
sebagai suatu perubahan disposisi atau kecakapan baru yang terjadi
karena adanya suatu usaha yang disengaja. Sedangkan Munn (1965) berpendapat
bahwa belajar itu adalah upaya memodifikasi tingkah laku sebagai
perolehan dari suatu kegiatan, latihan khusus, atau hasil observasi. Proses
belajar pada orang dewasa, yang pada umumnya bersifat informal, lebih berorientasi
kepada penemuan (discovery), lebih organic dan holistic, melalui proses
kognitif pada level operasi konkrit.
Jerome
S. Bruner, seorang peneliti terkemuka, memberikan beberapa gambaran tentang
perlunya teori pembelajaran untuk mendukung proses pembelajaran di dalam kelas,
serta beberapa contoh praktis untuk dapat menjadi bekal persiapan
profesionalitas para guru.Berdasarkan penelitian selama beberapa tahun
terakhir, cukup jelas bagi saya ( Jerome S.Bruner), bahwa dari segi psikologis
dan dari desain kurikulum itu sendiri, sangatlah minim dibahas tentang teori
pembelajaran. Teori pembelajaran yang sudah ada selama ini, hanya terfokus pada
kepentingan teoritis semata. Sebagai contoh, pada saat membahas tentang teori
perkembangan, seorang anak tidak diajarkan pengaruhnya terhadap tantangan
sosial dan bagaimana pengalaman nyata yang nantinya akan dialami anak ketika
berada di masyarakat. Masih banyak contoh-contoh lain, bagaimana sebuah teori
pembelajaran tidak menyentuh aspek sosial dari murud, dan hal ini merupakan
bentuk pembodohan secara intelektual dan tidak memiliki tangungjawab moral.
Dari
permasalahan di atas, kita menyadari bahwa, sebuah teori pembelajaran sebaiknya
juga menyangkut suatu praktek untuk membimbing seseorang bagaimana caranya ia
memperoleh pengetahuan dan keterampilan, pandangan hidup, serta pengetahuan
akan kebudayaan masyarakat sekitarnya. Akan hal itu, mari kita susun beberapa
teorema yang memungkinkan, yang mungkin akan membawa kita kepada sebuah teori
pembelajaran yang baik.Apa yang dimaksud dengan teori pembelajaran? Saya akan
mencoba menguraikan beberapa teorema untuk memisahkan apa yang kita maksud
dengan teori pembelajaran dari teori-teori yang sudah ada selama ini. Hal
pertama yang akan saya sampaikan bahwa nature dari teori pembelajaran adalah
prescriptive, bukan deskriptif. Teori tersebut memiliki tujuan untuk
menghasilkan akhir yang luar biasa dan proses menghasilkannya melalui cara yang
kita sebut optimal. Itu bukan sebuah deskripsi tentang apa yang terjadi saat
proses belajar terjadi-itu adalah sesuatu yang normatif, yang memberikan
sesuatu yang mengena pada dirimu, dan pada akhirnya, harus memberikan suatu
catatan mengenai dirimu pada saat kamu memberikan pembelajaran di dalam kelas.
Namun faktanya, banyak orang yang terlibat di dalam dunia pendidikan berasumsi
bahwa mereka dapat mengandalkan jenis-jenis teori yang lain selain teori
pembelajaran. Sebagai contoh, saya menemukan bahwa ketergantungan para pendidik
terhadap teori belajar sangat besar, padahal yang menjadi masalah adalah teori
belajar bukan teoeri pembelajaran.
Teori
belajar adalah teori yang mendeskripsikan apa yang sedang terjadi saat proses
belajar berlangsung dan kapan proses belajar tersebut berlangung.Tidak ada
batasan yang jelas, bagaimana seseorang yang mengandalkan teori belajar dapat
mengambil intisari yang tepat yang akan membimbing dia pada saat menyusun
kurikulum. Ketika saya mengatakan bahwa teori pembelajaran itu prescriptive,
yang saya maksud adalah suatu yang ada sebelum adanya fakta. Itu adalah sesuatu
yang ada sebelum proses belajar terjadi, bukan ketika, dan bukan setelahnya.Teori
pembelajaran harus mampu menghubungkan antara hal yang ada sekarang dengan
bagaimana menghasilkan hal tersebut. Teori belajar menjelaskan dengan pasti apa
yang terjadi, namun teori pembelajaran ’hanya’ membimbing apa yang harus
dilakukan untuk menghasilkan hal tersebut.
Ada
4 hal yang terkait dengan teori pembelajaran:
1.
Teori pembelajaran harus memperhatikan
bahwa terdapat banyak kecenderungan cara belajar siswa, dan kecenderungan ini
sudah dimiliki siswa jauh sebelum ia masuk ke sekolah.
2.
Teori ini juga terkait dengan adanya
struktur pengetahuan. Ada 3 hal yang terkait dengan struktur pengetahuan:
a. struktur
pengetahuan harus mampu menyederhanakan suatu informasi yang sangat luas
b. struktur
tersebut harus mampu membawa siswa kepada hal-hal yang baru, melebihi informasi
yang anda jelaskan
c. struktur
pengetahuan harus mampu meluaskan cakrawala berpikir siswa, mengkombinasikannya
dengan ilmu-ilmu lain.
3.
Teori pembelajaran juga terkait dengan
hubungan yang optimal. Seorang guru harus mampu mencari hubungan yang mudah
tentang sesuatu yang akan diajarkan agar murid lebih mudah menangkap informasi
tersebut.
4.
Yang terakhir, teori pembelajaran
terkait dengan penghargaan dan hukuman.
Hampir
semua ahli telah mencoba merumuskan dan membuat interpretasi tentang belajar.
Seringkali perumusan dan tafsiran itu berbeda satu sama lain. Menurut Oemar
Hamalik (2010, hlm. 37), belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku
individu melalui interaksi dengan lingkungannya.Sedangkan menurut Thursan Hakim
(2007, hlm. 1 ), “Belajar adalah suatu proses perubahan di dalam kepribadian
manusia, dan perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas
dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap,
kebiasaan, pemahaman, keterampilan, daya pikir, dan lain-lain kemampuan”.
Dari
definisi di atas, dapat digaris bawahi bahwa peningkatan kualitas dan kuantitas
tingkah laku seseorang diperlihatkan dalam bentuk bertambahnya suatu kualitas
dan kuantitas kemampuan orang itu dalam berbagai bidang. Jika di dalam suatu
proses belajar seseorang tidak mendapatkan suatu peningkatan kualitas dan
kuantitas kemampuan, dapat dikatakan orang tersebut belum mengalami proses
belajar atau dengan kata lain ia mengalami “kegagalan” di dalam proses
belajar.Dalam proses pembelajaran, para ahli membagi beberapa teori dalam
memahaminya, karena dengan teori ini para ahli dapat mengklasifikasi aktivitas
pembelajaran, diantara teori belajar yang dikenal dan akan dibahas tentang
teori belajar humanisme.
B.
PENGERTIAN
Menurut teori
humanistik, proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan
memanusiakan manusia itu sendiri.Oleh sebab itu, teori belajar humanistik
sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat, teori
kepribadian, dan psikoterapi, dari pada bidang kajian kajian psikologi belajar.
Teori humanistik sangat mementingkan si yang dipelajari dari pada proses
belajar itu sendiri. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang
konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, serta
tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain,
teori ini lebih tertarik pada penertian belajar dalam bentuknya yang paling
ideal dari pada pemahaman tentang proses belajar sebagaimana apa adanya,
seperti yang selama ini dikaji oleh teori-teori belajar lainnya.
Dalam
pelaksanaannya, teori humanistik ini antara lain tampak juga dalam pendekatan
belajar yang dikemukakan oleh Ausubel. Pandangannya tentang belajar bermakna
atau “Meaningful learning” yang juga tergolong dalam aliran kognitif
ini, mengatakan bahwa belajar merupakanasmilasi bermakna.Materi yang dipelajari
diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.
Faktor motivasi dan pengalaman emosional sangat penting dalam peristiwa
belajar, sebab tanpa motivasi dan keinginan dari pihak si pelajar, maka tidak
akan terjadi asimilasi pengetahuan baru ke dalam strujtur konitif yang telah
dimilikinya. Teori humanstik berpendapat bahwa belajar apapu dapat
dimanfaatkan, asal tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai
aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar
secara optimal.
Pemahamanan
terhadap belajar yang diidealkan menjadikan teori humanistik dapat memanfaatkan
teori belajar apapun asal tujuannya untuk memanusiakan manusia.Hal ini
menjadikan teori humanistik bersifat elektik. Tidak dapat disangkal lagi bahwa
setiap pendirian atau pe ndekatan
belajar tertentu, akan ada kebaikan dan ada pula kelemahannya. Dalam arti ini
elektisisme bukanlah suatu sistem dengan membiarkan unsur-unsur tersebut dalam
keadaan sebagaimana adanya atau aslinya. Teori humanistik akan memanfaatkan
teori-teori apapun, asal tujuannya tercapai, yatu memanusiakan manusia.
Manusia
adalah makhluk yang kompleks.Banyak ahli di dalam menyusun teorinya hanya
terpaku pada aspek tertentu yang sedang menjadi pusat perhatiannya.Dengan
pertimbangan-pertimbangantertentu setiap ahli melakukan penelitiannya dari
sudut pandangnya masing-masing dan menganggap bahwa keterangannya tentang
bagaimana manusia itu belajar adalah sebagai keterangan yang paling memadai.
Maka akan terdapat berbagai teori tentang belajar sesuai dengan pandangan
masong-masing.
Dari
penalaran di atas ternyata bahwa perbedaan antara pandangan yang satu dengan
pandangan yang lain sering kali hanya timbul karena perbedaan sudut pandangan
semata, atau kadang-kadang hanya perbedaan aksentuasi. Jadi keterangan atau
pandangan yang berbeda-beda itu hanyalah keterangan mengenai hal yang satu dan
sama dipandang dari sudut yang berlainan. Dengan demikian teori humanistik
dengan pandangannyadengan pandangannya elektik yaitu dengan cara memanfaatkan
atau merangkumkan berbagai teori belajar dengan tujuan untuk memanusiakan
manusia bukan saja mungkin untuk dilakukan, tetapi justru harus dilakukan.
Teori belajar humanistik yang di pelopori oleh Abraham
Maslow mencoba untuk mengkritisi teori Freud dan behaveoristik.Menurut Abraham
hal yang terpenting dalam melihat manusia adalah potensi yang dimilikinya.
Humanistik lebih melihat pada sisi
perkembangan kepribadian manusia daripada berfokus pada “ketidak
normalan” atau “sakit” seperti yang dilihat oleh teori Freud. Pendekatan ini
melihat kejadian setelah “sakit” tersebut sembuh, yaitu bagaimana manusia
membangun dirinya untuk melakukan hal – hal positif.Kemampuan positif ini
disebut potensi yang ada dalam manusia dan pendidik yang beraliran humanistik
biasanya memfokuskan pada hal – hal positif ini.
Kemampuan
positif disini erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat
dalam domain efektif.Misalnya kemampuan dalam ketrampilan membangun dan menjaga
relasi yang hangat dengan orang lain, kepercayaan, penerimaan, kesadaran,
memahami perasaan orang lain, kejujuran interpersonal dan pengetahuan
interpersonal lainnya.Jadi intinya adalah meningkatkan kualitas keterampilan
interpersonal dalam kehidupan sehari – hari.Selain menitikberatkan pada
interpersonal, para pendidik juga membuat pembelajaran yang membantu peserta
didik untuk meningkatkan kemampuan dalam membuat, berimajinasi, mempunyai
pengalaman, berintuisi, merasakan dan berfantasi.Pendekatan ini mengedepankan
pentingnya emosi dalam dunia pendidikan.Freudian melihat emosi sebagai sebagai hal
yang mengganggu perkembangan, sementara humanistik melihat keuntungan
pendidikan emosi.Jadi bisa dikatakan bahwa emosi adalah karakteristik yang
sangat kuat dan nampak dari para pendidik beraliran humanistik. Karena berfikir
dan merasakan saling beriringan, mengabaikan pendidikan emosi sama dengan
mengabaikan salah satu potensi terbesar manusia.
Banyak tokoh
penganut aliran humanistik, diantaranya adalah Kolb yang terkenal dengan
“Belajar Empat Tahap”nya, honey dan Mumford dengan pembagian tentang macam-macam
siswa, Hubemas dengan “Tiga macam tipe belajar”nya, serta Bloom dan Krathwohl
yang terkenal dengan “Taksonomi Bloom”nya.
C.
TOKOH-TOKOH TEORI BELAJAR HUMANISTIK
Adapun tokoh – tokoh yang mempelopori psikologi humanistik
yang digunakan sebagai teori belajar humanisme sebagai berikut :
a) Abraham Maslow
Di kenal sebagai pelopor aliran
humanistik.Maslow percaya bahwa manusia bergerak untuk memahami dan menerima
dirinya sebisa mungkin. Teorinya yang paling di kenal adalah teori tentang Hierarchy
of Needs( Hirarki kebutuhan ). Dia mengemukakan bahwa individu berperilaku
dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis. Pada diri orang
memiliki rasa takut yang dapat membahayakan apa yang sudah ia miliki dan
sebagainya, tetapi di sisi lain memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah
keutuhan. Manusia juga bermotivasi untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan
hidupnya. Kebutuhan – kebutuhan tersebut memiliki hirarki ( tingkatan ) mulai
dari yang rendah sampai yang tinggi. Adapun hirarki – hirarki tersebut adalah :
a.
Kebutuhan
fisiologis atau dasar
b.
Kebutuhan
akan aman dan tenteram
c.
Kebutuhan
akan dicintai dan disayangi
d.
Kebutuhan
untuk dihargai
e.
Kebutuhan
untuk aktualisasi diri
b) Arthur Combs
Bersama dengan Donald Syngg ( 1904 –
1967 ) mereka mencurahkan banyak perhatian pada dunia pendidikan. Meaning(
makna atau arti ) konsep sering yang di gunakan. Belajar terjadi bila mempunyai
arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak di sukai atau
tidak relevan dengan kehidupan mereka. Untuk itu guru harus memahami perilaku
siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut, sehingga apabila
merubah perilakunya, seorang guru harus berusaha merubah keyakinan atau
pandangan siswa yang ada.
Combs berpendapat bahwa banyak guru
membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi
pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya.Padahal arti tidak
menyatu pada materi pelajaran itu.Sehingga yang terpenting adalah bagaimana
membawa siswa untuk memperoleh arti bagi kepribadiannya dari materi pelajaran
tersebut dan menghubungkan dalam kehidupan. Combs memberikan persepsi diri dan
dunia seseorang seperti dua lingkaran ( kecil dan besar ).
a.
Lingkaran
kecil adalah gambaran dari persepsi diri
b.
Lingkaran
besar adalah persepsi dunia.
c) Carl Rogers
Adalah seorang psikolog humanistik
yang menekankan perlunya sikap saling menghargai dan tanpa prasangka dalam
membantu mengatasi masalah – masalah kehidupannya.[1][2]
Menurutnya hal yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru
memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran yaitu :
1.
Menjadi
manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak harus
belajar tentang hal – hal yang tidak ada artinya.
2.
Siswa
akan mempelajari hal – hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian bahan
pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bahan dan ide
baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
3.
Pengorganisasian
bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bahan
yang bermakna bagi siswa.
4.
Belajar
yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.
Dari
bukunya Freedom to learn, ia menunjukan sejumlah prinsip – prinsip yang terpenting
adalah :
1. Manusia itu mempunyai kemampuan
belajar secara alami
2. Belajar yang signifikan terjadi
apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud –
maksud tersendiri.
3. Belajar yang menyangkut perubahan di
dalam persepsi mengenai dirinya sendiri di anggap mengancam dan cenderung untuk
ditolaknya.
4. Belajar yang bermakna di peroleh
siswa dengan melakukanya.
5. Belajar diperlancar bilamana siswa
dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggung jawab terhadap proses
belajar itu.
Salah satu model pendidikan terbuka mencakup konsep mengajar
guru yang fasilitatif yang dikembangkan Rogers diteliti oleh Aspy dan Roebuck
pada tahun 1975 mengenai kemampuan para guru untuk menciptakan kondisi yang
mendukung yaitu empati, penghargaan dan umpan balik positif. Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah :
1.
Merespon perasaan siswa
2. Menggunakan ide-ide siswa untuk
melaksanakan interaksi yang sudah dirancang
3. Berdialog dan berdiskusi dengan
siswa
4. Menghargai siswa
5.
Kesesuaian antara perilaku dan
perbuatan
6.
Menyesuaikan isi kerangka berpikir
siswa ( penjelasan untuk memantapkan kebutuhan segera dari siswa )
7. Tersenyum pada siswa
Dari penelitian itu diketahui guru yang fasilitatif
mengurangi angka bolos siswa, meningkatkan angka konsep diri siswa,
meningkatkan upaya untuk meraih prestasi akademik termasuk pelajaran bahasa dan
matematika yang kurang disukai, mengurangi tingkat problem yang berkaitan
dengan disiplin dan mengurangi perusakan pada peralatan sekolah, serta siswa
menjadi lebih spontan dan menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi.
Bagaimana proses belajar dapat terjadi menurut teori belajar
humanisme? Orang balajar karena ingin mengetahui dunianya. Individu memilih
sesuatu untuk dipelajari, mengusahakan proses belajar dengan caranya sendiri,
dan menilainya sendiri tentang apakah proses belajarnya berhasil.
d)
Bloom dan Krathwohl
Dalam hal ini, Bloom dan Krathwohl
menunjukkan apa yang mungkin dikuasai ( dipelajari ) oleh siswa, yang tercakup
dalam tiga kawasan berikut.
1. Kognitif
Kognitif
terdiri dari tiga tingkatan:
1) Pengetahuan ( mengingat, menghafal
);
2) Pemahaman ( menginterpretasikan );
3) Aplikasi ( menggunakan konsep untuk
memecahkan suatu masalah );
4) Analisis ( menjabarkan suatu konsep
);
5) Sintesis ( menggabungkan
bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh);
6) Evaluasi ( membandingkan ide, nilai,
metode, dsb ).
2. Psikomotor
Psikomotor terdiri dari lima tingkatan, yaitu:
1)
Peniruan ( menirukan gerak );
2)
Penggunaan ( menggunakan konsep
untuk melakukan gerak );
3)
Ketepatan ( melakukan gerak dengan
benar );
4)
Perangkaian ( melakukan beberapa
gerakan sekaligus dengan benar );
5)
Naturalisasi ( melakukan gerak
secara wajar ).
3. Afektif
Afektif terdiri dari lima tingkatan, yaitu:
1)
Pengenalan ( ingin menerima, sadar
akan adanya sesuatu );
2)
Merespon ( aktif berpartisipasi );
3)
Penghargaan ( menerima nilai-nilai,
setia kepada nilai-nilai tertentu);
4)
Pengorganisasian ( menghubung -
hubungkan nilai-nilai yang dipercayai );
e) Kolb
Sementara itu, Kolb membagi tahapan
belajar menjadi empat tahap, yaitu:
1.
Pengalaman
konkret;
Pada
tahap ini seorang siswa hanya mampu sekedar ikut mengalami suatu kejadian.Dia
belum mempunyai kesadaran tentang hakikat kejadian tersebut.Dia pun belum
mengerti bagaimana dan mengapa suatu kejadian harus terjadi seperti itu.
2.
Pengalaman
aktif dan reflektif;
Siswa
lambat laun mampu mengadakan observasi aktif terhadap kejadian itu, serta mulai
berusaha memikirkan dan memahaminya.
3.
Konseptualisasi;
Siswa
mulai belajar untuk membuat abstraksi atau “teori” tentang sesuatu hal yang pernah
diamatinya. Pada tahap ini siswa diharapkan sudah mampu untuk membuat
aturan-aturan umum ( generalisasi ) dari berbagai contoh kejadian yang meskipun
tampak berbeda-beda, tetapi mempunyai landasan aturan yang sama.
4.
Eksperimentasi
aktif
Siswa sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan umum ke
situasi yang baru. Dalam dunia matematika misalnya, siswa tidak hanya memahami
“ asal-usul” sebuah rumus, tetapi ia juga mampu memakai rumus tersebut untuk
memecahkan suatu masalah yang belum pernah ia temui sebelumnya.[3][7]
5.
Honey
dan Mumford
Berdasarkan teori Kolb ini, Honey dan Mumford menggolongkan
siswa menjadi empat tipe, yakni:
1. Aktivis
Ciri
dari siswa ini adalah suka melibatkan diri pada pengalaman-pengalaman baru dan
cenderung berpikiran terbuka serta mudah diajak berdialog.Namun, siswa seperti
ini biasanya kurang skeptis terhadap sesuatu.Dalam belajar mereka menyukai
metode yang mampu mendorong seseorang menemukan hal-hal baru, seperti brainstorming
atau problem solving.Akan tetapi mereka cepat merasa bosan dengan hal-hal
yang perlu waktu lama dalam implementasi.
2. Reflektor
Siswa
tipe ini cenderung sangat berhati-hati mengambil langkah sehingga dalam
mengambil keputusan mereka lebih suka menimbang-nimbang secara cermat baik
buruknya.
3. Teoris
Siswa
tipe ini biasanya sangat kritis, senang menganalisis, dan tidak menyukai
pendapat atau penilaian yang sifatnya subjektif.Berpikir rasional adalah sangat
penting.Dan mereka cenderung sangat skeptis dan tidak suka hal-hal yang
spekulatif.
4. Pragmatis
Siswa
pada tipe ini menaruh perhatian besar pada aspek-aspek praktis dari segala hal.
Bagi mereka teori memang penting, tapi tidak akan berguna jika tidak
dipraktikkan.[4][8]
6.
Habermas
Menurutnya belajar sangat dipengaruhi oleh interaksi, baik
dari lingkungan maupun dengan sesama manusia. Dengan asumsi ini Habermas
membagi belajar menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Belajar teknis ( technical
learning )
Dalam
belajar teknis siswa belajar bagaimana berinteraksi dengan alam sekelilingnya.
Mereka berusaha menguasai dan mengelola alam dengan cara mempelajari
ketrampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk itu.
2. Belajar praktis ( practical
learning )
Pada
belajar ini siswa juga belajar berinteraksi, tetapi yang lebih dipentingkan
adalah interaksi dia dengan orang-orang di sekelilingnya.
3. Belajar emansipatoris ( emancipatory
learning)
Pada
belajar ini siswa berusaha mencapai pemahaman dan kesadaran yang sebaik mungkin
tentang perubahan ( transformasi ) kultural dari suatu lingkungan. Inilah
tujuan pendidikan yang paling tinggi.[5][9]
Psikologi humanistik dan pengajaran
di dalam bagian ini berisi tentang bagaimana para psikolog humanistik berupaya
menggabungkan keterampilan dan informasi kognitif dengan segi efektif , nilai –
nilai, dan perilaku antar pribadi.
Sehubungan dengan itu akan di bicarakan tiga macam program :
a. Confluent education
Adalah
proses pendidikan yang memadukan atau mempertemukan pengalaman – pengalaman efektif dengan belajar kognitif di
dalam kelas.[6][10]
Sebagai contoh guru bahasa indonesia
memberikan tugas pada para siswa untuk membaca sebuah novel, katakanlah
misalnya tentang “keberanian” sebuah novel perang. Melalui tugas itu siswa
diharapkan memahami isi bacaan tersebut dengan sebaik – sebaiknya tetapi juga
memperoleh kesadaran antar pribadi yang lebih baik dengan jalan membahas
pengertian mereka sendiri mengenai keberanian dan perasaan takut. Untuk
keperluan itu tugas tersebut di lengkapi dengan tugas – tugas yang berkaitan,
antara lain :
1) Mewawancarai orang – orang yang tahu
tentang perang.
2) Mendengarkan musik perang,
menuliskan pikiran – pikiran dan perasaan yang timbul secara bebas, kemudian
menghayatinya dalam kelompok – kelompok kecil.
3) Memperdebatkan apakah perang itu
dapat dihindari ataukah tidak.
4) Membandingkan perang saudara dengan
sajak – sajak perang.
b. Open Education
Adalah
proses pendidikan terbuka, Menurut Walberg dan Thomas (1972), open education
itu memiliki delapan kriteria :
1) Kemudahan belajar tersedia, artinya
berbagai macam bahan yang di perlukan untuk belajar tersedia
2) Penuh kasih sayang, hormat, terbuka
dan hangat artinya menggunakan bahan buatan siswa : guru menangani masalah –
masalah tingkah laku dengan jalan berkomunikasi secara pribadi dengan siswa
yang bersangkutan saja.
3) Mendiagnosis peristiwa – peristiwa
belajar , artinya siswa – siswa memeriksa pekerjaan mereka sendiri.
4) Pengajaran, artinya pengajaran
individual ; tidak ada tes ataupun buku kerja.
5) Penilaian, artinya guru membuat
penilaian secara individual : hanya sedikit sekali di adakan test formal.
6) Mencari kesempatan untuk pertumbuhan
profesional, artinya guru menggunakan bantuan orang lain, guru bekerja dengan
teman – teman sekerjanya.
7) Persepsi guru sendiri, artinya guru
berusaha mengamati semua siswa untuk memantau kegiatan mereka.
8) Asumsi tentang para siswa dan proses
belajar, artinya suasana kelas hangat dan ramah, sehingga para siswa asyik
melakukan sesuatu.[7][11]
Meskipun pendidikan terbuka itu
memberikan kesempatan pada para siswa untuk bergerak secara bebas di sekitar
ruangan dan memilih aktifitas belajar mereka sendiri, namun bimbingan guru
tetap di perlukan. Kira-kira perlu di catat bahwa open education ini
lebih efektif dari pada pendidikan tradisional dalam hal meningkatkan hal
belajar yang bersifat efektif, kerja sama, kreatifitas, dll.
c. Cooperative learning
Belajar
cooperative merupakan fondasi yang baik untuk meningkatkan dorongan berprestasi
siswa. Menurut Slavin (1980) cooperative memiliki tiga karakterisik sebagai
berikut :
1) Siswa belajar dalam tim – tim yang
kecil (4-6 orang anggota) komposisi ini tetap selama berminggu – minggu.
2) Siswa di dorong untuk saling
membantu dalam mempelajari bahan yang bersifat akademik atau dalam melakukan
tugas kelompok.
3) Siswa diberi imbalan atau hadiah
bagi yang berprestasi.
Adapun teknik dalam belajar
cooperative learning itu ada empat macam :
a)
Team game tournament (TGT); dalam teknik ini siswa –siswa yang kemampuan
dan jenis kelaminnya berbeda di satukan dalam team (4 orang). Setelah itu guru
menyajikan soal dan team lalu mengerjakan, saling mengajukan pertanyaan dan
belajar bersama se team untuk menghadapi tournament yang biasanya di
selenggarakan seminggu sekali.
b)
Teams– achievement divisions; teknik ini juga menggunakan team (4 orang)
tetapi kegiatan tournament di ganti
dengan bertanya selama lima belas menit. Skor – skor pertanyaan menjadi skor
team.
c) Jigsaw, dalam teknik ini siswa di
masukan dalam tim –tim kecil yang bersifat heterogen. Bahan pelajaran di
bagikan kepada anggota anggota team. Kemudian siswa tersebut mempelajari bahan
pelajaran yang sama dengan team lain kemudian mereka kembali ke kelompoknya
masing – masing dan menjelaskan apa yang telah dipelajari dari kelompok lain
tersebut kepada kelompoknya.
d)
Group investigation adalah teknik di mana para siswa bekerja di dalam
kelompok – kelompok kecil yang menangani berbagai macam proyek kelas. Setiap
kelompok membagi tugas tersebut menjadi sub topik – sub topik, kemudian setiap
anggota kelompok melakukan penelitian yang di perlukan untuk mencapai tujuan
kelompok, setelah itu kelompok mengajukan hasil penelitiannya kepada kelas.
Dalam metode ini hadiah atau point tidak di berikan.
Menurut
cooperative learning itu pada umumnya mempunyai efek yang positif terhadap
prestasi akademik.Keberhasilan cooperative learning ini juga tergantung dengan
kemampuan siswa berinteraksi di dalam kelompok.
D.
CIRI-CIRI DAN PRINSIP DALAM TEORI
BELAJAR HUMANISTIK
Pendekatan humanisme dalam pendidikan menekankan pada
perkembangan positif.Pendekatan yang berfokus pada potensi manusia untuk
mencari dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan
tersebut.Hal ini mencakup kemampuan interpersonal sosial dan metode untuk
pengembangan diri yang ditujukan untuk memperkaya diri, menikmati keberadaan
hidup dan juga masyarakat.Ketrampilan atau kemampuan membangun diri secara
positif ini menjadi sangat penting dalam pendidikan karena keterkaitannya
dengan keberhasilan akademik.
Dalam teori belajar humanistik,
belajar dianggap berhasil jika siswa memahami lingkungannya dan
dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun
ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini
berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari
sudut pandang pengamatnya. Tujuan utama para pendidik adalah membantu si
siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk
mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam
mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
Ada salah satu ide penting dalam teori belajar humanisme
yaitu siswa harus mampu untuk mengarahkan dirinya sendiri dalam kegiatan
belajar mengajar, sehingga siswa mengetahui apa yang dipelajarinya serta tahu
seberapa besar siswa tersebut dapat memahaminya. Dan juga siswa dapat
mengetahui mana, kapan, dan bagaimana mereka akan belajar. Dengan demikian maka
siswa diharapkan mendapat manfaat dan kegunaan dari hasil belajar bagi dirinya
sendiri. Aliran humanisme memandang belajar sebagai sebuah proses yang terjadi
dalam individu yang meliputi bagian/domain yang ada yaitu dapat meliputi domain
kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Dengan kata lain, pendekatan humanisme menekankan
pentingnya emosi atau perasaan, komunikasi terbuka, dan nilai-nilai yang
dimiliki oleh setiap siswa. Untuk itu, metode pembelajaran humanistik mengarah
pada upaya untuk mengasah nilai-nilai kemanusiaan
siswa. Sehingga para pendidik/guru diharapkan dalam pembelajaran
lebih menekankan nilai-nilai kerjasama, saling membantu, dan
menguntungkan, kejujuran dan kreativitas untuk diaplikasikan dalam proses
pembelajaran sehingga menghasilkan suatu proses pembelajaran yang
diharapkan sesuai dengan tujuan dan hasil belajar yang dicapai siswa.[8][14]
E.
PRINSIP TEORI BELAJAR HUMANISTIK
Beberapa
prinsip Teori belajar Humanistik:
1. Manusia mempunyai belajar alami.
2. Belajar signifikan terjadi apabila
materi pelajaran dirasakan murid mempuyai relevansi dengan maksud tertentu.
3. Belajar yang menyangkut perubahan di
dalam persepsi mengenai dirinya.
4. Tugas belajar yang mengancam diri
ialah lebih mudah dirasakan bila ancaman itu kecil.
5. Bila ancaman itu rendah terdapat
pangalaman siswa dalam memperoleh cara.
6. Belajar yang bermakna
diperoleh jika siswa melakukannya.
7. Belajar lancar jika siswa dilibatkan
dalam proses belajar.
8. Belajar yang melibatkan siswa
seutuhnya dapat memberi hasil yang mendalam.
9. Kepercayaan pada diri siswa
ditumbuhkan dengan membiasakan untuk mawas diri.
10. Belajar sosial adalah belajar
mengenai proses belajar.
Roger sebagai ahli dari teori
belajar humanisme mengemukakan beberapa prinsip belajar yang penting yaitu:
(1). Manusia itu memiliki keinginan alamiah untuk belajar, memiliki rasa ingin
tahu alamiah terhadap dunianya, dan keinginan yang mendalam untuk
mengeksplorasi dan asimilasi pengalaman baru, (2). Belajar akan cepat dan lebih
bermakna bila bahan yang dipelajari relevan dengan kebutuhan siswa, (3)
belajar dapat di tingkatkan dengan mengurangi ancaman dari luar, (4) belajar
secara partisipasi jauh lebih efektif dari pada belajar secara pasif dan orang
belajar lebih banyak bila belajar atas pengarahan diri sendiri, (5) belajar
atas prakarsa sendiri yang melibatkan keseluruhan pribadi, pikiran maupun
perasaan akan lebih baik dan tahan lama, dan (6) kebebasan, kreatifitas,
dan kepercayaan diri dalam belajar dapat ditingkatkan dengan evaluasi diri,
orang lain tidak begitu penting.
Teori humanistik sering dikritik karena sukar diterapkan
daam konteks yang lebih praktis.Teori ini diangagap lebih dekat dengan bidang
filsafat, teori kepribadian dan psikoterapi dari pada bidang pendidikan,
sehingga sukar menterjemahkannya ke dalam langkah-langkah yang lebih kongkret
dan praktis.Namun karena sifatnya yang ideal, yaitu memanusiakan manusia, maka
teori humanistik mampu memberikan arah terhadap semua komponen pembelajaran
untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut.
Semua komponen pendidikan temasuk tujuan pendidikan
diarahkan pada terbentuknya manusia yang ideal, manusia yang dicita-citakan,
yaitu manusia yang mampu mencapai aktualisasi diri.Untuk itu, sangat perlu
diperhatikan bagaimana perkembangan peserta didik dalam mengaktualisasi
dirinya, pemahaman terhadap dirinya, serta realisasi diri.Pengalaman emosional
dan karakteristik khusus individu dalam belajar perlu diperhatikan oleh guru
dalam merencanakan pembelajaran. Karena seseorang akan dapat belajar dengan
baik jika mempunyai pengertian tentang dirinya sendiri dan dapat membuat
pilihan-pilihan secara bebas ke arah mana ia akan berkembang. Dengan demikian
teori humanistik mampu menjelaskan bagaimana tujuan yang ideal tersebut dapat
dicapai.
Teori humanistik akan sangat membantu para pendidik dalam
memahami arah belajar pada dimensi yang lebih luas, sehingga upaya pembelajaran
apapun dan dalam konteks manapun akan selalu diarahkan dan dilakukan untuk
mencapai tujuannya. Meskipun teori humanistik ini masih sukar diterjemahkan ke
dalam langkah-langkah pembelajaran yang praktis dan operasional, namun
sumbangan teori ni amat besar. Ide-ide, konsep-konsep, taksonomi-taksonomi
tujuan yang telah dirumuskannya dapat membantu para pendidik dan guru untuk
memahami hakekat kejiwaan manusia. Hal ini akan dapat membantu mereka dalam
menentukan komponen-komponen pembelajaran seperti perumusan tujuan, penentuan
materi, pemilihan strategi pembelajaran, serta pengembangan alat evaluasi, ke
arah pembentukan manusia yang dicita-citakan tersebut.
Kegiatan pembelajaran yang dirancang secara sistematis,
tahap demi tahap secara ketat, sebagai mana tujuan-tujuan pembelajaran yang
telah dinyatakan secara eksplisit dan dapat diukur, kondisi belajar yang dapat
diatur dan ditentukan, serta pengalaman-pengalaman belajar yang dipilih untuk siswa,
mungkin saja berguna bagi guru tetapi tidak berarti bagi siswa (Rogers dalam
Snelbecker, 1974). Hal tersebut tidak sejalan dengan teori humanistik.Menurut
teori ini, agr belajar bermakna bagi siswa, diperlukan insiatif dan
keterlibatan penuh dari siswa sendiri. Maka siswa akan mengalami belajar
eksperiensial (experiential learning).
Dalam
prakteknya teori humanistik ini cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir
induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa secara
aktif dalam proses belajar. Oleh sebab itu, walaupun secara ekspilsit belum ada
pedman baku tantang langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan humanistik,
namun paling tidak langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan humanistik,
namun paling tidak langkah-langkah pembelajaran yang dikemukakan oleh Suciati
dan Prasetya Irawan (2001) dapat digumakan sebagi acuan. Langkah-langkah yang
dimaksud adalah sebagi berikut :
- Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran.
- Menentukan materi pembelajaran.
- Mengidentifikasi kemampuan awal (entri behvior) siswa.
- Mengidentifikasi topik-topik pelajaran yang memungkinkan siswa secara aktif melibatkan diri atau mengalami dalam belajar.
- Merancang fasilitas belajar seperti lingkungan dan media pembelajaran.
- Membimbing siswa belajar secara aktif.
- Membimbing siswa untuk memahami hakikat makna dari pengalaman belajarnya.
- Membimbing siswa membuat konseptualisasi pengalaman belajarnya.
- Membimbing siswa dalam mengaplikasikan konsep-konsep baru ke situasi nyata.
- Mengevaluasi proses dan hasil belajar.
F.
APLIKASI TEORI BELAJAR HUMANISTIK DALAM PEMBELAJARAN
a) Guru
Sebagai Fasilitator
Psikologi
humanistik memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator yang berikut ini
adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas
sifasilitator. Ini merupakan ikhtisar yang sangat singkat dari beberapa
guidenes ( petunjuk ) :
1. Fasilitator sebaiknya memberi
perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman
kelas.
2. Fasilitator membantu untuk
memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga
tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
3. Dia mempercayai adanya keinginan
dari masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi
dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar yang
bermakna tadi.
4. Dia mencoba mengatur dan menyediakan
sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa
untuk membantu mencapai tujuan mereka.
5. Dia menempatkan dirinya sendiri
sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok.
6. Di dalam menanggapi
ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik isi yang bersifat
intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan cara
yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok.
7. Bilamana cuaca penerima kelas telah
mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat berperanan sebagai seorang siswa
yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan
pendangannya sebagai seorang individu, seperti siswa yang lain.
8. Dia mengambil prakarsa untuk ikut
serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan
juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh
saja digunakan atau ditolak oleh siswa.
9. Dia harus tetap waspada terhadap
ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama
belajar.
10. Di dalam berperan sebagai seorang
fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk menganalisis dan menerima
keterbatasan-keterbatasannya sendiri.[9][15]
b) Aplikasi Teori Humanistik Terhadap
Pembelajaran Siswa
Aplikasi
teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran
yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran
humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan
motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru
memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk
memperoleh tujuan pembelajaran.
Siswa
berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses
pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri ,
mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang
bersifat negatif.
Pembelajaran
berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterapkan pada materi-materi
pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan
sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial.Indikator dari keberhasilan
aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar
dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri.
Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh
pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab
tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin atau
etika yang berlaku.
G. KELEBIHAN DAN
KEKURANGAN TEORI BELAJAR HUMANISTIK
1.
KELEBIHAN
a. Teori
ini cocok untuk diterapkan dalam materi pembelajaran yang bersifat pembentukan
kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena
sosial.
b. Indikator
dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah,
berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap
atas kemauan sendiri.
c. Siswa
diharapkan menjadi manusia yang bebas, tidak terikat oleh pendapat orang lain
dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggung jawab tanpa mengurangi
hak-hak orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin atau etika yang
berlaku.
2.
KEKURANGAN
a. Siswa
yang tidak mau memahami potensi dirinya akan ketinggalan dalam proses belajar.
b. Siswa
yang tidak aktif dan malas belajar akan merugikan diri sendiri dalam proses
belajar.
H. KESIMPULAN
Teori Belajar Humanistik adalah suatu teori dalam pembelajaran
yang mengedepankan bagaimana memanusiakan manusia serta peserta didik mampu
mengembangkan potensi dirinya.Adapun tokoh dalam teori ini adalah Abraham Maslow, C. Roger dan Arthur Comb, dll.
Kemudian aplikasi dalam teori ini, siswa diharapkan menjadi
manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur
pribadinya sendiri secara bertanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain
atau melanggar aturan , norma , disiplin atau etika yang berlaku. Serta guru
hanya berperan sebagai fasilitator.
Ciri-ciri guru yang
fasilitatif adalah :
1. Merespon perasaan siswa
2. Menggunakan ide-ide
siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang
3. Berdialog dan berdiskusi
dengan siswa
4. Menghargai siswa
5. Kesesuaian antara
perilaku dan perbuatan
6. Menyesuaikan isi
kerangka berpikir siswa ( penjelasan untuk memantapkan kebutuhan segera dari
siswa ).
7. Tersenyum pada siswa
I. DAFTAR PUSTAKA
B.
Uno, M. Pd, Dr. Hamzah. 2006. Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran.
Jakarta: Bumi Aksara
Dr.
Iskandar, M.Pd. 2009.Psikologi Pendidikan. Cipayung: Gaung Persada ( GP
) Press
Hadis,
M. Pd, Drs. Abdul. 2006. Psikologi dalam Pendidikan. Bandung: Alfbeta
Mahmud,
Drs. M. Dimyati. 1990. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: BPFE - Yogyakarta
novinasuprobo.wordpress.com/2008/06/15/teori-belajar-humanistik/
( 4/4/ 2012 at 16.04)
http://
mihwanuddin.wordpress.com ( 4/4/2012 at 15.42)
http://edukasi.kompasiana.com/2011/10/24/teori-belajar-humanisme/( 4/4/ 2012 at 15.48 )
http://
trimanjuniarso.files.wordpress.com (4/4/2012 at 15.38 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar